Sabtu, 11 Februari 2012

My Complains

Halo semua...:)

Apakabar ? Semoga selalu dalam keadaan baik & menyenangkan. Aamiin..

Kali ini saya menulis karena saya ingin mengeluarkan uneg – uneg :  “Saya ingin mengeluh!”.

Ngga boleh ?

Wah, tapi  rasanya engga enak kalo saya pendam terus...

Hmm..begini aja deh...

Ijinkan saya mengeluh sedikiiiit aja, dan Anda saya perbolehkan membaca keluhan – keluhan saya.

Bagaimana ?

Deal ya ? Ya ? Ya ?

OK... Deal !

Saya mulai ya......

Dear Pembaca,
Pada saat saya menulis ini, saya jenuh.
Saya jenuh untuk selalu minum obat – obatan saya dan pergi berobat, toh saya juga masih belum bisa naik sepeda.

Saya bosan.
Untuk setiap pagi mesti bangun dari tempat tidur dengan sendi jemari yang bengkak, sendi kaki yang kaku dan saya mesti pula melangkah membasuh tubuh  saya di kamar mandi yang terasa dingin, padahal selimut tebal di tempat tidur terlihat begitu nyaman menggoda.

Saya sedih.
Tiap kali mendengar kabar seorang atau kadang beberapa orang sekaligus sahabat saya pergi tanpa pamit untuk menghadap “Bos Besar” selama – lamanya.

Saya muak.
Tersadar bahwa begitu banyak impian yang masih teronggok saja dalam kotak impian, belum juga berujud nyata.

Dan kini...
Dengan rasa malas saya mengambil butir demi butir obat dari dalam kantung obat lalu memasukkannya ke dalam kotak obat harian.

Saya hitungi jumlahnya, kira – kira belasan butir per hari yang mesti saya konsumsi.  Belum lagi rasanya yang pahit, aduhai !

Dan yang paling menyebalkan adalah saat mesti berurusan dengan efek samping yang ditimbulkannya. Rasa mual, wajah membulat bagai bulan purnama atau rambut rontok saja hanyalah efeknya teringan.  Masih ada lagi resiko kebutaan hingga infertilitas sekalipun sebagai efek sampingnya yang terberat.

Yah, bagaimanapun juga ini adalah obat – obatan kimia. Side effect  akan muncul bila obat dikonsumsi dalam dosis dan jangka waktu tertentu , itupun tergantung reaksi tubuh tiap individu.

Kawan...
Saya tak punya pilihan lain, saya mesti mengkonsumsinya jika tak mau tubuh ini hanya terus berbaring saja di tempat tidur. Saya mesti  berkompromi dengan obat – obat ini jika tak mau Lupus di tubuh saya mengamuk dan mengacak – acak ketentraman jaringan sehat di dalam tubuh saya.
Baiklah, saya lanjutkan lagi keluh saya. Masih belum puas rasanya.

Saya...hmmmm....

Tunggu !

Mbak Sunarsih.....apakabarnya Mbak Sunarsih ?

Ahh, tiba – tiba nama ini melintas di benak. Saya teringat Beliau, Beliau yang kini telah menyandang status Almarhumah (semoga Allah SWT senantiasa melapangkan kuburnya, aamiin).

Detik – detik terakhir kepergiannya beberapa tahun lalu, Lupus mengamuk di tubuhnya. Beliau sakit, namun tidak punya uang untuk berobat.

#(saya menggarisbawahi kalimat terakhir di atas, keluhan – keluhan saya mundur selangkah)

 Semua badannya sudah membengkak, matanya pun buta Kawan. Betapa susahnya ....
Dan suaminya....suaminya tetap ada di sampingnya, tak pergi kemana – mana. Bahkan rela tidur di lantai bangsal sebuah rumah sakit hanya beralaskan kertas koran saja, menunggui istrinya. Berharap sebuah keajaiban muncul, lalu istrinya seketika sembuh total dan mengajaknya kembali pulang ke rumah mereka.  Hmm, sayangnya, istrinya memang betul – betul pulang, tapi pulang ke pangkuan Illahi.

#(keluhan – keluhan saya mundur lagi selangkah).

Di lain kesempatan, saya juga teringat dengannya. Ia yang pernah saya temui di sebuah rumah sakit. Datang ke sana sudah dalam keadaan lemah sekali, tak kuat berjalan. Tubuhnya kurus kering, rambutnya tipis hingga nyaris botak. Di sekujur kulit nampak bercak – bercak kemerahan. Sulit saya terka berapa usianya, yang pasti sakit Lupus yang ia derita membuatnya tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Seolah merasa tak percaya diri, atau malu, entahlah, ia terus saja menunduk, menatap kosong pada lantai rumah sakit, dari atas kursi roda tempatnya duduk.
Waktu itu, ia datang ke sana diantar suami dan dua orang tetangga. Mujur, ia masih mujur karena ada tetangganya yang tergerak untuk membawanya ke rumah sakit, segera. Terlambat sedikit saja, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Ketika ditanya , adakah ia pernah berobat selama ini ?
Jawabnya  dengan suara lemah : “Boro – boro berobat... kalo ada uang mah mending buat beli makan saya sekeluarga...”
Begitu.

#(keluhan – keluhan saya semakin mundur menjauh)
***

Saya perhatikan dengan seksama butir – butir aneka warna dalam kotak obat. Hmm, yeaahh...Saya mungkin sedang membencinya saat ini. Ibarat kekasih, kalau bisa saya pasti akan minta ‘putus’ saja dengannya. Saya jenuh, seperti yang saya katakan tadi.

Tapi...
Bahwa ada seseorang (banyak bahkan), di luar sana, dimana minum obat bagi mereka adalah seperti sebuah impian.
Jika saya memimpikan sebuah iPad sebagai hadiah kejutan bagi saya, misalnya,  maka bagi mereka, bisa membeli obat – obatan, meminumnya secara rutin sehingga sakit yang mereka rasakan hilang dan mereka bisa beraktivitas normal mempersembahkan sesuatu untuk keluarga, adalah impian yang masih menjadi wishlist,  entah kapan itu bisa mewujud.

 



“Saya ingin kembali menjalin hubungan dengan obat – obatan saya !”, demikian saya putuskan.

#(menendang jauh setiap keluhan yang berusaha muncul)
 #berhenti mengeluh. Belajar, belajar, belajar bersyukur. 



Love,
Fifi Carmelia





Tidak ada komentar:

Posting Komentar